2,648 Pengunjung Melihat

🏛️ Sejarah Pembentukan dan Eksistensi Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh

 


📜 Dasar Hukum Pembentukan

Pembentukan badan peradilan di Indonesia berakar pada Pasal 24 dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang telah diamandemen. Amandemen tersebut mengamanatkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Dasar hukum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman lebih lanjut diatur dalam:

  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (telah diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009) yang mendefinisikan Kekuasaan Kehakiman sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

  • Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 menegaskan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, termasuk Lingkungan Peradilan Agama.

  • Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006) menegaskan bahwa Pengadilan Agama (yang di Aceh menjadi Mahkamah Syar’iyah) adalah lembaga resmi yang sejajar dan setara dengan badan peradilan lainnya.

  • Konsep Peradilan Satu Atap diperkenalkan melalui Pasal 13 UU No. 4 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.


🌟 Awal Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh

Mahkamah Syar’iyah berfungsi sebagai lembaga pelayanan publik dalam penegakan hukum dan keadilan. Pembentukannya secara khusus di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) didasarkan pada:

  1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh (kemudian diganti dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh).

  2. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam.

Mahkamah Syar’iyah merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama dengan penambahan kewenangan, termasuk perkara jinayat (hukum pidana Islam). Perubahan nomenklatur dari Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah, dan Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah Aceh, ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2003.

  • Pasal 1 ayat (1) Keppres No. 11 Tahun 2003: Pengadilan Agama yang ada di Provinsi Aceh diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah.

  • Pasal 1 ayat (3) Keppres No. 11 Tahun 2003: Pengadilan Tinggi Agama yang ada di Provinsi NAD diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD.


⚖️ Kewenangan Mahkamah Syar’iyah

Tugas pokok dan fungsi Mahkamah Syar’iyah (sebagai pengembangan dari Pengadilan Agama) diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.

Mahkamah Syar’iyah memiliki ciri khusus kewenangan di Aceh, sebagaimana diatur dalam Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang:

  • Ahwal al-Syakhsyiyah (hukum keluarga)

  • Muamalah (hukum perdata)

  • Jinayah (hukum pidana)

Kewenangan tambahan ini diperkuat dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/070/SK/X/2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh, serta ditandai dengan berita acara serah terima kewenangan pada tanggal 11 Oktober 2004. Kewenangan ini disebut sebagai kompetensi absolut, sementara kompetensi relatif (wilayah hukum/yurisdiksi) diatur sesuai wilayah masing-masing Mahkamah Syar’iyah.


🗺️ Proses Perubahan Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah

Perjuangan untuk melaksanakan Syariat Islam di Aceh menghasilkan dua undang-undang fundamental:

  1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

  2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

UU No. 18 Tahun 2001 memberikan hak kepada Provinsi NAD untuk membentuk Peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional (Pasal 25 ayat (1)).

Pemerintah Daerah NAD membentuk tim untuk menyusun Rancangan Qanun (Peraturan Daerah), salah satunya adalah Rancangan Qanun tentang Peradilan Syari’at Islam. Tim ini dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh, Dr. Muslim Ibrahim, M.A., dengan sub-tim Rancangan Qanun Mahkamah Syar’iyah diketuai oleh Drs. H. Soufyan M. Saleh, S.H.

Setelah proses penyusunan dan konsultasi, Rancangan Qanun tersebut diserahkan kepada DPRD NAD pada tanggal 19 November 2001. Serangkaian konsultasi kemudian dilakukan dengan lembaga pusat, termasuk Mahkamah Agung RI dan Kementerian/Lembaga terkait.

Konsultasi antara Tim Pemerintah Daerah Aceh dan Mahkamah Agung RI pada 23 Oktober 2002 menghasilkan kesepakatan:

  • Mahkamah Agung mengharapkan Mahkamah Syar’iyah segera terwujud dan diresmikan pada 1 Muharram 1424 H.

  • Pembentukan Mahkamah Syar’iyah adalah tugas eksekutif, dikoordinir oleh Menteri Dalam Negeri.

Menindaklanjuti hal ini, Tim Pusat dan Daerah menyepakati peresmian akan dilaksanakan di Banda Aceh pada hari Selasa, 1 Muharram 1424 H/4 Maret 2003 M.


📢 Pelaksanaan Peresmian Mahkamah Syar’iyah

Peresmian Mahkamah Syar’iyah dilaksanakan pada 1 Muharram 1424 H atau 4 Maret 2003, bertempat di Gedung DPRD Provinsi NAD. Dasar hukum peresmian adalah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003, yang memuat:

  • Perubahan nama Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah.

  • Perubahan nama Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi.

  • Penambahan kewenangan yang akan dilaksanakan secara bertahap.

Acara peresmian dihadiri oleh: Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan HAM, serta Menteri Agama RI, dan ditandai dengan penandatanganan prasasti. Bersamaan dengan upacara ini, dilaksanakan pula pengambilan sumpah dan pelantikan Ketua-Ketua Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota, termasuk Ketua Mahkamah Syar’iyah Langsa.


⚙️ Peresmian Operasional Kewenangan

Meskipun telah diresmikan secara kelembagaan pada Maret 2003, operasional kewenangan Mahkamah Syar’iyah, khususnya di bidang jinayat, menghadapi kendala karena Kejaksaan sebagai penuntut umum belum memiliki dasar hukum operasional (terkait dengan KUHAP).

Upaya penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Peradilan Syari’at Islam terus dilakukan, namun pada Mei 2004, Sekretariat Kabinet menyampaikan pandangan bahwa RPP tersebut tidak diperlukan. Hal ini didasarkan pada substansi yang dianggap telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan dikuatkan dengan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 (sekarang UU No. 48 Tahun 2009) tentang Kekuasaan Kehakiman.

Untuk mengatasi kekosongan payung hukum operasional, Pemerintah Daerah NAD dan Mahkamah Agung RI sepakat untuk meresmikan pelaksanaan kewenangan operasional.

Peresmian operasional kewenangan Mahkamah Syar’iyah akhirnya dilaksanakan pada hari Senin, 11 Oktober 2004, di Anjong Mon Mata, Banda Aceh. Acara ini ditandai dengan:

  • Pembacaan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/070/SK/X/2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah.

  • Penandatanganan Naskah Peresmian Operasional Mahkamah Syar’iyah dan Keputusan Bersama Lembaga Penegak Hukum di NAD.

Peresmian operasional ini menjadi titik tolak bagi Mahkamah Syar’iyah, termasuk Mahkamah Syar’iyah Langsa, untuk melaksanakan kewenangan yang utuh sesuai amanat undang-undang Otonomi Khusus Aceh.

Referensi :

  1. PP Nomor 45 Tahun 1957
  2. Keppres Nomor 11 Tahun 2003

 

2021 Website Mahkamah Syar'iyah Langsa Team IT ms-langsa

Butuh Informasi? Hub Kami Via Whatsapp